Burung Merak Biru
Meraih reputasi baik itu sulit. Mempertahankannya lebih sulit lagi.
Soalnya, ketika kita sudah dikenal memiliki reputasi baik, orang punya ekspektasi lebih terhadap kita. Mereka berharap kita ‘sebaik’ reputasi yang sudah sering mereka dengar. Ketika ekspektasi tidak terpenuhi, jatuhnya kecewa.
Ini beda dengan orang yang punya reputasi buruk. Karena kita sudah mengetahui bahwa orang itu reputasinya buruk, maka kita tidak berharap. Kalau kinerjanya bagus, kita terkejut (eh, wah, kok kinerjanya bagus, padahal dengar-dengar reputasinya buruk); kalau kinerjanya buruk kita tidak kecewa (yah, memang reputasinya sudah buruk, nggak perlu berharap).
Sama dengan brand yang punya reputasi baik. Menjaganya setengah mati. Apalagi jika brand itu berkembang pesat. Semakin banyak orang yang terlibat di dalamnya, semakin sulit menjaga reputasi tersebut. Ibaratnya, semakin banyak yang bisa menjadi ‘nila setitik’—yang lantas akan merusak susu sebelanga itu. Demikian halnya dengan layanan taksi. Dari dulu sampai beberapa waktu lalu, layanan taksi yang paling baik itu lekat dengan si Burung Biru. Setidaknya untuk saya.
Belakangan? Tidak lagi.
Saya bisa berkata begini karena memang saya cukup kerap menggunakan jasa layanan taksi Burung Biru itu. Pasalnya, kantor saya juga berlangganan layanan taksi ini dan menyediakan voucher untuk pegawai-pegawainya.
Dulu, setiap kali naik Burung Biru, saya masih menemukan standar pengemudi yang sopan. Menyapa dengan selamat pagi/siang/sore/malam Pak/Bu, tersenyum, berkata argonya sudah dijalankan, lalu… apakah AC-nya cukup dingin atau tidak, tujuannya ke mana, dan lain sebagainya. Belakangan ini, pengemudi yang seperti itu termasuk jarang. Bahkan dari pengemudi bintang 1 (ketua grup). Banyak yang tidak mengucapkan salam sama sekali. Padahal pengalaman ‘sopan-santun pengemudi Burung Biru’ itu kan dirasakan begitu naik taksi dan duduk di jok. Kalau begitu masuk saja ekspektasi sudah tidak terpenuhi, rasanya ada yang kurang. Resiko sebuah brand yang sudah dikenal dengan reputasinya ya begini 🙂 Harus dijaga supaya penumpang tidak kecewa.
Awal tahun ini saya merasakan kemerosotan layanan Burung Biru yang cukup signifikan. Dimulai dari semakin banyaknya pengemudi yang tidak tahu jalan, bahkan ke rute-rute yang cukup mudah seperti bandara atau Sudirman-Thamrin. Dulu, begitu naik taksi dan menyebutkan tujuan, jika si pengemudi tidak tahu jalan, dia akan berkata, “Aduh, maaf, Bu, saya masih baru, jadi belum tahu jalan, apa bisa ditunjukkan jalannya?” Ini masih jauh lebih baik daripada kebanyakan pengemudi Burung Biru sekarang yang sama sekali nggak bilang bahwa mereka nggak tahu jalan, kemudian di tengah-tengah salah belok dan baru nanya, “Eh, ini yang belok ke sini bukan jalannya, ya?” atau ngotot lewat jalan yang macet walau sudah diminta lewat jalan lain oleh penumpangnya. Ini sangat mengesalkan, apalagi di Jakarta, salah jalan sedikit saja bisa mengakibatkan terlambat setengah jam.
Layanan pemesanan lewat telepon juga semakin tidak ‘ramah’. Dulu, kalau dari siang sudah memesan taksi untuk pukul 5 sore dan ternyata mereka belum mendapatkan taksi yang bisa dikirim, pukul setengah 4 sore petugas pemesanan akan menelepon dan mengabarkan bahwa mereka belum bisa mendapatkan taksi. “Mau ditunggu atau bagaimana, Ibu?”
Ini jelas membantu, karena kita jadi bisa mengira-ngira transportasi lain apa yang bisa digunakan jika taksi tidak muncul tepat waktu. Belakangan ini, sudah berkali-kali saya kesal karena tidak dikabari jika taksinya tidak ada. Janjinya jam 5 sore, dan sampai setengah 6 belum ada taksi yang muncul di depan. Begitu ditelepon dan dicek kembali, barulah petugas layanan berkata, “Taksinya belum ada, Bu, mau ditunggu?” *aaarrgh!*
Tapi buat saya, hal-hal macam itu masih termaafkan. Yang berbahaya adalah ketika pengemudi taksi ketiduran di jalan dan membahayakan nyawa penumpang. Dalam beberapa bulan terakhir ini, sudah ada 6 (ya, ENAM!!!) pengemudi taksi Burung Biru yang ketiduran di jalan tol. Ini mengecewakan sekali.
Bukannya apa-apa, setiap kali memesan taksi lewat telepon pun, saya selalu mewanti-wanti bahwa saya akan menuju Bogor dari Jakarta; atau menuju Jakarta dari Bogor. Jika menghentikan taksi di pinggir jalan pun, saya selalu bertanya dulu sebelum naik, apakah sanggup membawa saya melintasi kota. Saya sadar perjalanan cukup jauh, apalagi jika disertai macet.
Saya ingat, dulu pun saya pernah menaiki taksi yang pengemudinya mengantuk di jalan. Tetapi pengemudinya berkata pada saya, “Bu, maaf, saya agak ngantuk ini, apa kira-kira boleh menepi sebentar untuk cuci muka?” Wah, buat saya ini patut diacungi jempol. Tentu boleh! Saya hargai bahwa pengemudi mengakui bahwa dia mengantuk, dan daripada membahayakan nyawa saya dan dia, menawarkan berhenti sebentar. Setelah merasa sedikit segar, baru melanjutkan perjalanan lagi.
Tetapi belakangan ini, yang terjadi justru sebaliknya. Saya merasakan mobil mulai bergoyang kiri-kanan tidak fokus, lalu melihat dari kaca bahwa pengemudi sedang terkantuk-kantuk. “Pak, kalau ngantuk berhenti dulu aja, nanti lanjut lagi.” Pengemudi berkata, “Nggak kok, nggak apa-apa.” Lalu beberapa menit kemudian dia terkantuk-kantuk lagi dan semakin tidak fokus menyetir. Saya harus melihat kiri-kanan dan berkata “Pak, awas kiri! Awas kanan! Pak, rem!!!”
Buat saya ini menjengkelkan. Mengecewakan. Dan membahayakan. Puncaknya Jumat lalu, ketika pengemudi taksi sudah saya tegur 2 kali karena mengantuk dan saya minta untuk berhenti dulu dan cuci muka, tapi tidak mau. Jadilah di kilometer 30-an kami nyaris terserempet mobil besar dari arah kanan. Pengemudi baru menghindar ketika saya bilang, “Pak, awas!!!”
Di situ saya marah dan berkata,”Pak, berhenti! Minggir sekarang! Sekarang juga! Sebelum kenapa-kenapa!”
Begitu berhenti di pinggir jalan, pengemudi itu berkata,”Saya turun sebentar cuci muka ya, Bu.”
HOOOOIIII, yang bener aja! Bukannya dari tadi udah diminta begitu, yaaa -____-
Saya mengerti mengantuk itu manusiawi. Saya juga tidak akan protes kalau pengemudi bilang bahwa ia mengantuk dan butuh istirahat sebentar. Justru mereka yang tidak bilang dan tetap nekat membawa mobil meski sudah disuruh istirahat itulah yang membuat saya jengkel bukan main. Konsentasi menyetir pasti buyar jika dalam keadaan mengantuk, dan ini sangat membahayakan!
Sebenarnya yang membuat saya lebih kesal lagi, ini jalan tol. Kalau di jalan biasa sih saya akan memilih turun di pinggir jalan dan mengambil taksi lain daripada membahayakan nyawa sendiri. Kalau di jalan tol, saya bisa apa? Apalagi Exit satu dengan yang lain terkadang cukup jauh, sehingga kalau mau keluar tol pun masih harus menunggu cukup lama. Pertanyaan saya, karena cukup seringnya saya menemukan pengemudi yang ketiduran ini, apakah memang sebegitu panjangnya jam kerja di Burung Biru sehingga mereka begitu keletihan? Atau bagaimana? Karena dari 6 kali pengalaman pengemudi yang ketiduran, 1 kali terjadi pada siang hari, lho. Dan bukan malam hari. Apakah perlu ada perhatian khusus mengenai hal ini dari manajemen Burung Biru?
Dan karena sudah 6 kali mengalami hal semacam inilah, saya memutuskan kapok menggunakan layanan Burung Biru. Mungkin masih bolehlah jika untuk jarak dekat. Tapi untuk jarak jauh saya lebih baik menggunakan jasa layanan taksi lain (yang setelah dicoba ternyata malah lebih baik layanannya ketimbang Burung Biru, dan pengemudinya tidak ketiduran).
Saya tidak mengatakan bahwa semua pengemudi Burung Biru tidak ada yang baik. Ada juga yang masih menjaga reputasi Burung Biru, bahkan saya jadikan langganan 🙂 Mungkin juga di luar sana masih banyak orang yang punya pengalaman baik dengan Burung Biru. Tetapi tidak dengan saya. Bukan saya. Saya enggan ‘deg-deg plas’ dalam perjalanan panjang menuju Bogor dan harus berteriak-teriak mengawasi jalanan sambil menyenteri pengemudi dengan cahaya handphone agar saya bisa melihat apakah dia sedang ketiduran.
Entahlah, apakah hanya saya saja yang merasakan bahwa layanan Burung Biru mulai menurun?
Riwayat Pembelian ShopeePay
Mencari riwayat pembelian
© 2017 Media Cipta Persada
℗ 2017 Media Cipta Persada
Mdundo.com is one of Africa's leading music services! The company aims to provide Africa with easy and legal access to online entertainment and reach millions of people across Africa every month. Mdundo enables artists to keep track of fans, downloads and royalties paid in July and January every year.
By downloading MP3 music from Mdundo.com YOU become part of supporting African artists! You can get the latest music, top mixes and your favorite playlists from top artists across Africa. Mdundo also gives you easy access to the hottest podcast, sports and religious content.
Mdundo is also working with top partners across Africa including Vodacom, MTN, Airtel, Safaricom, Universal Music, Warner Music, Opera and many more to make music accessible for all. Mdundo.com A/S is a publicly listed company and Nasdaq First North Growth Market in Copenhagen, Denmark.