Gudang Garam Panjang

Gudang Garam Panjang

Hasil Pencarian Rokok Gudang Garam

Rokok gudang garam terbanyak dilihat

RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM TAHUNAN TANGGAL 28 AGUSTUS 2020

Riwayat Hidup Calon Pengurus Periode 2020-2025

Ringkasan Risalah Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan

Perusahaan rokok Gudang Garam adalah salah satu terbesar di Indonesia yang telah berdiri sejak tahun 1958 di kota Kediri, Jawa Timur. Bahkan produknya terkenal luas baik di dalam negeri hingga mancanegara.

Saat ini, pemilik Gudang Garam adalah Susilo Wonowidjojo. Beliau merupakan pimpinan direksi sekaligus pemegang saham terbesar dari PT Gudang Garam Tbk. Susilo Wonowidjojo juga merupakan salah satu orang terkaya di Indonesia. Akan tetapi sebelum beliau, Gudang Garam didirikan oleh ayahnya Surya Wonowidjojo. Berikut cerita panjang perjalanan bisnis rokok Gudang Garam mulai dari awal hingga perkembangannya.

Machine-made kretek cigarettes

Sigaret Kretek Mesin Reguler

Klobot kretek cigarettes

Gudang Garam owns one of the top five badminton clubs of Indonesia. Suryanaga Gudang Garam is based in the capital city of East Java, Surabaya.

Lupakan Email dengan Sistem Notifikasi Instan

Riwayat penawaran dari penjual tersimpan selamanya di dalam sistem, sehingga Anda dapat dengan mudah mengaksesnya kapan saja tanpa perlu mencari di kotak masuk email.

Hand kretek cigarettes

RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM TAHUNAN TANGGAL 26 JUNI 2023

Ringkasan Risalah Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan

Masa Kejayaan Gudang Garam

Pada tahun 1966, Gudang Garam telah menjadi produsen kretek terbesar di Indonesia. Ada tribuan karyawan dan kapasitas produksi mencapai 50 juta batang rokok kretek per bulannya.

Meskipun sempat mengalami kehilangan banyak karyawan akibat krisis politik di pertengahan 1960-an, langkah cerdik yang dilakukan Tjoa membuat Gudang Garam kembali bangkit.

Tjoa Ing Hwie meninggal pada 28 Agustus 1985 dan dimakamkan di Auckland, Selandia Baru. Beliau meninggalkan warisan Gudang Garam yang tak ternilai harganya. Bahkan melansir dari Jurnal Flores (6/6/2024), Gudang Garam menopang perekonomian Kota Kediri hingga 80%. Bahkan mengutip dari Suryani Suryanto & Associates (6/6/2024), disebutkan bahwa sejak tahun 2019 hingga 2021 saja Gudang Garam membayar tarif cukai hingga Rp 238 triliun.

Sekarang, Gudang Garam dipimpin oleh anak dari Tjoa yaitu Susilo Wonowidjojo yang juga merupakan salah satu orang terkaya di Tanah Air. Produk andalannya yang paling laku di pasaran adalah "Surya", mengacu pada pendiri Gudang Garam "Surya Wonowidjojo".

Itu dia kisah panjang perjalanan bisnis rokok Gudang Garam oleh Tjoa Ing-Hwe atau Surya Wonowidjojo. Semoga bermanfaat.

Gudang Garam adalah sebuah produsen rokok yang berkantor pusat di Kediri. Untuk mendukung kegiatan bisnisnya, hingga akhir tahun 2022, perusahaan ini memiliki pabrik di Kediri, Gempol, Karanganyar, dan Sumenep, serta kantor perwakilan di Jakarta dan Sidoarjo.[1][2]

Perusahaan ini memulai sejarahnya pada tahun 1956 saat Tjoa Ing-Hwie atau Surya Wonowidjojo membeli lahan dengan luas sekitar 1.000 meter persegi milik Muradioso di Jl. Semampir II/l, Kediri. Di atas lahan tersebut, Tjoa Ing-Hwie lalu mulai memproduksi rokok sendiri, diawali dengan rokok kretek dari kelobot dengan merek Inghwie. Setelah beroperasi selama dua tahun, pada tanggal 26 Juni 1958, Tjoa Ing-Hwie mengganti nama perusahaannya menjadi Perusahaan Rokok Tjap Gudang Garam. Awalnya, perusahaan ini hanya mempekerjakan 50 orang.[3] Konon, nama "Gudang Garam" didapat oleh Tjoa Ing-Hwie dari mimpi.[4]

Pada tahun 1966, perusahaan ini telah menjadi produsen sigaret kretek tangan (SKT) terbesar di Indonesia, dengan ribuan karyawan dan kapasitas produksi 50 juta batang SKT per bulan.[4] Pada pertengahan dekade 1960-an, krisis politik Indonesia sempat membuat perusahaan ini kehilangan banyak karyawan, tetapi perusahaan ini berhasil bangkit kembali dalam waktu yang tidak terlalu lama.[5] Pada tahun 1969, badan hukum perusahaan ini diubah menjadi firma (Fa), dan pada tanggal 30 Juni 1971, badan hukum perusahaan ini kembali diubah menjadi perseroan terbatas (PT).[6] Pada tahun 1973, perusahaan ini mulai mengekspor produknya ke luar Indonesia.[7]

Berbeda dengan Bentoel Group yang telah mulai memproduksi sigaret kretek mesin (SKM) sejak dekade 1970-an, perusahaan ini masih setia memproduksi SKT,[8] dan baru mendatangkan mesin pembuat rokok pada tahun 1979. Mesin pembuat rokok tersebut kemudian berhasil menaikkan produksi perusahaan ini menjadi dua kali lipat, yakni dari 9 miliar batang/tahun menjadi 17 miliar batang/tahun.[9] Pada dekade 1980-an, perusahaan ini telah memiliki sejumlah pabrik dengan total luas mencapai 240 hektar dan dapat memproduksi rokok sebanyak 1 juta batang/hari. Omset perusahaan ini mencapai US$ 7 juta dan berhasil menguasai 38% pangsa pasar. Dengan cukai yang disetor ke negara mencapai Rp 1 miliar per tahun, perusahaan ini pun menjadi produsen kretek terbesar di Indonesia.[9][10] Karyawan perusahaan pada saat itu mencapai 37.000 orang serta memiliki helikopter pribadi.[11] Walaupun begitu, perusahaan ini tetap fokus memproduksi rokok dan kertas rokok.[12] Perusahaan ini kemudian juga mulai menyalurkan CSR, antara lain untuk mendukung pengembangan olahraga tenis meja.[13]

Sejak dekade 1970-an juga, dua orang putra dari Surya, yakni Rachman Halim dan Susilo Wonowidjojo, mulai aktif terlibat di perusahaan. Dua orang tersebut kemudian secara berturut-turut menjadi pimpinan perusahaan setelah Surya Wonowidjojo meninggal pada tahun 1985.[14] Pada tanggal 27 Agustus 1990, perusahaan ini resmi menjadi perusahaan publik, dengan melepas 57 juta saham di Bursa Efek Jakarta dan 96 juta saham di Bursa Efek Surabaya, dengan penawaran perdana pada harga Rp 10.250/lembar.[6][15] Mayoritas saham perusahaan saat itu dimiliki oleh keluarga mendiang Surya Wonowidjojo, yakni istrinya, Tan Siok Tjien dan putranya, Rachman Halim.[13] Kini, mayoritas saham perusahaan ini masih dikuasai oleh keluarga Wonowidjojo melalui PT Suryaduta Investama.[15]

Pada tahun 1996, perusahaan ini mencatatkan penjualan sebesar Rp 9,6 triliun; dan pada tahun 2000, perusahaan ini berhasil mencatatkan penjualan sebesar Rp 15 triliun, dengan mempekerjakan 41.000 orang karyawan. Pada dekade 1990-an, perusahaan ini sempat menjadi perusahaan (konglomerasi) terbesar kelima di Indonesia.[16] Perusahaan ini tidak terlalu bergantung pada utang luar negeri, sehingga tidak terdampak krisis keuangan yang menimpa Indonesia pada akhir dekade 1990-an.[17] Perusahaan ini juga mampu menghadapi berbagai tantangan, seperti kehadiran BPPC yang pernah memengaruhi produksinya pada awal dekade 1990-an.[7] Pada tahun 2001, perusahaan ini telah memiliki enam pabrik dengan total luas 100 hektar dan mempekerjakan lebih dari 40.000 orang pekerja.[4]

Pada tahun 2017, perusahaan ini menguasai sekitar 21% pangsa pasar rokok nasional, dengan pabrik di Kediri, Sumenep, Karanganyar dan Gempol.[18] Pada tanggal 4 Agustus 2017, Japan Tobacco asal Jepang resmi membeli 100% saham PT Karyadibya Mahardika dan PT Surya Mustika Nusantara yang dipegang oleh perusahaan ini.[19] Pasca akuisisi tersebut, sempat tersiar rumor bahwa perusahaan ini akan digabung atau diakuisisi oleh Japan Tobacco, tetapi perusahaan ini selalu membantahnya.[20]

Pada tahun 2021, perusahaan ini mendirikan tiga anak usaha baru, masing-masing untuk berbisnis di bidang impor, distribusi, dan produksi rokok elektrik. Tetapi tiga perusahaan tersebut belum mulai beroperasi.[21] Pada tahun 2022, perusahaan ini mendirikan PT Surya Kerta Agung untuk berekspansi ke bisnis pengelolaan jalan tol.[22] Pada tahun 2022 juga, perusahaan ini menyuntikkan modal sebesar Rp 1 triliun ke PT Surya Dhoho Investama yang akan mengelola Bandara Dhoho di Kediri.[23]

Menurut sejarawan Dukut Imam Widodo, nama "Gudang Garam" yang disandang oleh perusahaan ini tercermin pada logo yang sampai saat ini masih digunakan. Logo tersebut didesain oleh Tjoa Ing-Hwie bersama salah satu karyawannya. Logo tersebut terlahir dari mimpi Tjoa Ing-Hwie yang melihat lima los gudang penyimpanan garam di dekat Stasiun Kediri.[24][25][26] Pintu dari gudang yang ada di logo tersebut ada yang dalam keadaan terbuka, setengah tertutup, dan tertutup, dibuat sebagai tanda bahwa Gudang Garam tidak akan pernah puas dan tidak akan pernah merasa di puncak.[3]

Daftar harga rokok gudang garam terbaru Desember 2024

Tempat - Kotak Rokok Dan Korek Api Bara Jing Pin Gudang Garam Surya

Koleksi Rokok Jadul Klobot Gudang Garam 12

Rokok Gudang Garam Surya isi 16 batang

kaleng bekas rokok surya-gudang garam

New Rokok Gudang Garam Djaman Dulu Rokok Djadul Rokok Kulit Jagung Original

Tempat Rokok Wadah Rokok Kayu Gudang Garam Surya 16

Penduduk Indonesia mulai mengenal tembakau pada abad ke-17 melalui bangsa Eropa. Saat ini, Indonesia terkenal sebagai salah satu negara penghasil tembakau kualitas terbaik di dunia. Ada lebih dari 100 varietas tembakau yang tumbuh di Indonesia, di atas lebih dari 250 ribu hektar lahan yang mayoritas berlokasi Sumatera, Jawa, Bali, dan Lombok. Ada banyak hal yang mempengaruhi cita rasa serta kandungan nikotin di dalam daun tembakau, yaitu jenis dan ketinggian tanah tempat tumbuhan tersebut ditanam, curah hujan, cuaca, serta tradisi bercocok tanam para petani.

Penanaman tembakau biasanya dilakukan pada bulan April. Butuh waktu sekitar enam bulan kemudian untuk memanen tembakau. Setelah dipanen, dauh tembakau kemudian disobek-sobek dengan tangan dan dikeringkan di bawah terik sinar matahari selama dua hari. Kemudian, daun tembakau tersebut dipilah berdasarkan kualitasnya untuk kemudian dijual kepada pabrik rokok. Di pabrik, daun tembakau ada yang langsung digunakan, namun ada pula yang disimpan hingga bertahun-tahun, sesuai dengan resep yang dibutuhkan untuk membuat kretek merek tertentu.

Seperti tembakau, tanaman cengkeh juga tumbuh subur di Indonesia. Bagian dari tanaman cengkeh yang biasa digunakan adalah bagian bunga yang belum mekar. Meski dimanfaatkan untuk berbagai keperluan oleh banyak bangsa di seluruh dunia—mulai dari India sampai Eropa, dulu pohon cengkeh hanya tumbuh di “pulau rempah” Maluku. Itu sebabnya cengkeh dihargai dengan nilai tinggi dan diburu oleh banyak orang.

Rempah berharga ini juga secara tidak langsung ikut andil membentuk negara Indonesia seperti saat ini. Tak kurang dari bangsa Belanda, Inggris, Spanyol, dan Portugis, dulu saling berebut ingin menguasai dan mendominasi perdagangan cengkeh di Indonesia.

Meski kini cengkeh sudah dibudidayakan di negara-negara lain, Indonesia tetap menjadi penghasil cengkeh terbesar di dunia. Ini merupakan suatu berkah, karena industri kretek di membutuhkan pasokan cengkeh yang besar setiap tahunnya, atau sekitar sekitar 95% dari hasil cengkeh sedunia.

Pohon cengkeh membutuhkan waktu setidaknya lima tahun untuk tumbuh dewasa dan siap dipanen. Bunga cengkeh dipetik dengan tangan oleh para pekerja, kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari. Setelah itu, cengkeh ditimbang, dijual, kemudian dirajang dengan mesin sebelum ditambahkan ke dalam campuran tembakau untuk membuat kretek.

Komponen terakhir dalam pembuatan kretek adalah saus, yang terbuat dari beraneka rempah dan ekstrak buah-buahan untuk menciptakan aroma serta cita rasa tertentu. Selain komposisi campuran tembakau dan cengkeh, saus inilah yang menjadi pembeda antara setiap merek dan varian kretek.

Sumber: disadur dari Hanusz, Mark. Kretek: The Culture and Heritage of Indonesia's Clove Cigarettes, Singapore: Equinox Publishing (Asia) Pte. Ltd. (2.000)

© 2018 PT. Gudang Garam Tbk

### Penilaian Komprehensif Sektor Tembakau#### Pendahuluan Sektor tembakau di Indonesia tetap menjadi bagian penting dari industri consumer staples, dipimpin oleh perusahaan-perusahaan utama seperti Gudang Garam ($GGRM), HM Sampoerna ($HMSP), dan Wismilak Inti Makmur (WIIM). Meskipun demikian, sektor ini menghadapi berbagai tantangan terkait kebijakan regulasi, perpajakan, dan daya beli domestik. Evaluasi ini membahas tren terbaru, risiko potensial, dan proyeksi masa depan dalam sektor tembakau berdasarkan laporan yang diberikan.---#### Kondisi Pasar dan Prospek Sektor Laporan memberikan rating Underweight untuk sektor tembakau, mencerminkan kekhawatiran terkait potensi pertumbuhan akibat ketidakpastian kebijakan dan tantangan makroekonomi. Beberapa poin penting:- Ada indikasi bahwa cukai rokok mungkin tidak naik di FY25F, yang bisa memberi kelegaan sementara bagi perusahaan tembakau. Pemerintah kemungkinan hanya akan menaikkan harga jual eceran minimum (HJE) untuk meningkatkan pendapatan tanpa menaikkan cukai. - Proyeksi pendapatan dari cukai rokok untuk FY25F sebesar Rp230,7 triliun, yang stagnan dibandingkan Rp230,4 triliun di FY24F.---#### Perusahaan Utama dan Dampak Finansial Berikut adalah evaluasi dari tiga perusahaan besar di sektor tembakau:1. Gudang Garam ($GGRM) - Diperkirakan paling diuntungkan jika cukai stabil, berkat rasio biaya operasional terhadap pendapatan yang paling rendah. - Jika cukai tidak naik dan ASP meningkat 2%, laba bersih FY25F bisa tumbuh hingga 100%. 2. HM Sampoerna ($HMSP) - Diproyeksikan mengalami pertumbuhan laba bersih FY25F sebesar 16% dengan penyesuaian ASP moderat. - Potensi peningkatan imbal hasil dividen menarik bagi pemegang saham. 3. Wismilak Inti Makmur ($WIIM) - Diperkirakan terjadi peningkatan laba bersih FY25F sebesar 8%, dengan potensi kenaikan EPS sebesar 27% jika cukai stabil. ---#### Tantangan dan Risiko Industri Sektor ini menghadapi sejumlah risiko yang dapat menghambat pertumbuhan:1. Risiko Regulasi - Potensi kenaikan cukai di masa depan (sekitar 10% berdasarkan tren sebelumnya) dapat menurunkan profitabilitas dan menyebabkan penurunan sektor.2. Daya Beli Domestik - Lemahnya daya beli membatasi kemampuan perusahaan untuk menaikkan harga secara agresif.3. Pasar Rokok Ilegal - Penjualan rokok ilegal dapat mengurangi pangsa pasar rokok legal, memerlukan pengawasan yang lebih ketat.4. Regulasi Kesehatan - Kampanye kesehatan publik dan peraturan yang lebih ketat terkait merokok dapat memengaruhi permintaan.---#### Potensi Katalis Positif Meskipun terdapat tantangan, beberapa faktor dapat mendorong hasil positif:1. Cukai Stabil - Kebijakan cukai 0% di FY25F dan seterusnya dapat mendukung profitabilitas jangka panjang.2. Penyesuaian Harga - Ruang untuk kenaikan harga moderat tanpa memengaruhi permintaan secara signifikan.3. Imbal Hasil Dividen - Peningkatan imbal hasil dividen (hingga 11% untuk WIIM) dapat menarik investor.---#### Kesimpulan Sektor tembakau Indonesia berada di persimpangan jalan, sangat dipengaruhi oleh kebijakan fiskal pemerintah dan dinamika konsumen. Stabilitas cukai di FY25F dapat memberikan kelegaan sementara, tetapi risiko jangka panjang tetap ada, seperti perubahan regulasi, kampanye kesehatan, dan tantangan ekonomi. Perusahaan seperti Gudang Garam, HM Sampoerna, dan Wismilak Inti Makmur mungkin akan menikmati peningkatan laba sementara, tetapi pertumbuhan berkelanjutan memerlukan strategi adaptasi yang lebih baik terhadap perubahan pasar. Catatan lainnya: bitly/4a8K4E1

Indonesian tobacco company

PT Perusahaan Rokok Tjap Gudang Garam Tbk (Republican spelling Indonesian for "Salt Warehouse brand Cigarette Company plc"), trading as PT Gudang Garam Tbk, is an Indonesian tobacco company, best known for its kretek (clove cigarette) products. It is Indonesia's largest tobacco manufacturer, with a market share of nearly 33%.[1] The company was founded on 26 June 1958 by Tjoa Ing Hwie, who changed his name to Surya Wonowidjojo (1923–1985). In 1984, control of the company was passed to Wonowidjojo's son, Cai Daoheng/Tjoa To Hing (Rachman Halim), who subsequently became the richest man in Indonesia. Halim headed the company until his death at the age of 60 in 2008.[2]

Wonowidjojo was in his 20s when his uncle offered him a job working with tobacco and sauce at his kretek factory, Cap 93. Cap 93 was one of the most famous kretek brands in East Java. Hard work and diligence were rewarded by promotion to Head of Tobacco and Sauce, which eventually led to Wonowidjojo becoming a company director.

Wonowidjojo left Cap 93 in 1956, taking 50 employees with him. He started buying land and raw materials in Kediri and soon began producing his own klobot kretek, which he marketed under the brand name Inghwie. Two years later, he renamed and registered his company as Pabrik Rokok Tjap Gudang Garam.

He chose the name Gudang Garam after a dream about the old salt warehouse which stood opposite Cap 93. Sarman, one of the original 50 employees who had followed him when he quit Cap 93, suggested he put a picture of the warehouse on every packet of his kretek for good luck. Wonowidjojo considered this a good idea and asked Sarman to design the logo, commenting: "We should leave two doors open, two half-opened, and one closed. If all the doors were closed, we would feel that everything had already been achieved."[3]

Gudang Garam grew rapidly, and by the end of 1958, it had 500 employees producing over 50 million kretek annually. By 1966, after only eight years in production, Gudang Garam had grown to be the largest kretek factory in Indonesia, with an annual production of 472 million sticks. Consumers have noted Gudang Garam's, particularly the Inghwies, similar smell to alcoholic beverages.

By 1969, Gudang Garam was producing 864 million sticks a year and was indisputably the largest kretek producer in Indonesia and Taiwan.

In 1979, Wonowidjojo completely renovated Gudang Garam's production system, ordered thirty rolling machines, and developed a new formula for his machine-made kretek.

Rival companies tried to discredit the brand by claiming its contents included marijuana in addition to cloves and tobacco. The company has the distinction of being the largest single employer in Indonesia and Taiwan.